apa yaNg dilihat, belum te n tu sePer ti yaNg terlihat

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Senin, 11 April 2011






Apakah korelasi Homo faber dalam mengonsep desain? 


Tantangan utama dalam mengoptimalkan desain, pada dasarnya dimulai dari menentukan metode pengonsepan yang mampu menjabarkan konteks masyarakat sesuai kebutuhannya. Tentu saja tujuannya untuk membuat desain yang dapat diapresiasi publik karena “berfungsi”. Dan sama seperti halnya karya di luar kategori seni, desain adalah “alat fungsional” atau “...  [manufactured] artificial objects, especially tools to make tools, and of indefinitely varying the manufacture.” (Henri Bergson, “Creative Evolution”, 1911, hal. 153-4, Random House, New York, 1944). 


MENdesain SANGAT ditentukan METODE pengonsepan yang HASIL estetikaNYA MENGOPTIMALKAN sistem KEHIDUPAN SEHARI-HARI.

 


Hal tersebut dicapai dengan mendialektikkan  kreativitas dalam dua tahap. Tahap pertama, merumuskan pertanyaan pengurai suatu masalah. Pertanyaan pada tahap ini berperan mengobjektifkan kesubjektivan ide yang semula bersifat personal, menjadi kontekstual karena masalah diurai sesuai kemajemukan sifat suatu kondisi masyarakat.



MEMPROSES KREATIVITAS MENJADI KESADARAN, BERTUJUAN MENGONSEP DESAIN YANG TIDAK SALAH KAPRAH MENGARTIKAN KARAKTER  ANYTHING  GOES  ‘KEBEBASAN’1 DARI KARYA SENI KONTEMPORER ABAD 21. 
ARTINYA PADA SAAT INI PERSOALAN DASAR MENDESAIN, DI SATU SISI ADALAH BAGAIMANA DESAIN MAMPU MENGINTISARIKAN KEMAJEMUKAN MASYARAKAT SESUAI KONTEKSNYA. NAMUN DI SISI LAIN, “KEBARUAN” DESAIN TIDAK BOLEH TERJEBAK DALAM KEDANGKALAN MAKNA MAUPUN TREND ‘PENGULANGAN IDE POPULER’.


Menurut Bergson, kesadaranlah  yang memotivasi Homo faber berkehidupan, hasil pengoptimalan potensi – insting dan kecerdasan - yang sifatnya melekat pada setiap individu, menjadi intelektualitas. Maksudnya, kemampuan bertahan-hidup terbentuk ketika manusia mendialektikkan fungsi dirinya dengan elemen pembentuk lingkungan sekitarnya. Daya nalar inilah membuat manusia memahami dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya, begitu pula sebaliknya. Dalam pengonsepan desain, proses dialektik menjabarkan masalah dengan pertanyaan-pertanyaan pengurai, berdasarkan pengetahuan – persepsi2 dan asosiasi3 terhadap referensi4 - suatu konteks. Pertanyaan mengurai masalah menjadi:   the matter ‘persepsi dasar’ dan the form  ‘integrasi beberapa referensi yang telah diintegralkan berdasarkan asosiasi tertentu, secara sistematis’5.


Pertanyaan yang mengurai masalah menjadi the matter, dilakukan dengan mengumpulkan  data teknis dan non-teknis, baik terkait langsung maupun tidak terhadap suatu konteks. Dalam tahap ini,  persepsi masih berbentuk dalil - referensi umum - yang  perlu dihipotesiskan lebih lanjut, karena konteksnya terhadap masalah telah obsolete ‘butuh pembaharuan’. Proses yang memunculkan alternatif  kemungkinan, yang masing-masing idenya memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Proses dialektik ini menghasilkan keyword design ‘fondasi konsep’.

Menguraikan masalah dengan pertanyaan menjadi  the form, berarti menghipotesiskan probabilitas kemungkinan ide berdasarkan konteks - kendala maupun potensi - realita. Dalam pengonsepan, pengaplikasiannya dengan mendialektikkan keyword design lebih lanjut, menjadi kesadaran objektif merencana bentuk eksekusi dari ide desain. Atau dengan kata lain, memproses ide yang wujudnya masih (kata) sifat menjadi benda ... an arithmetical difference between potential  and  real  activity, which measures the interval between representation and action.” (Henri Bergson, “Creative Evolution”, 1911, hal. 160, Random House, New York, 1944). 

rangkaian upaya mengolah ide, membutuhkan sensitivitas yang terukur.  alternatif ide dihipotesiskan berdasarkan beberapa argumen yang membuat desain dapat dipertanggungjawabkan SESUAI KONTEKS masalah
Tahap ini sangat penting mentransformasi ide yang semula bersifat subjektif, menjadi desain yang objektif menyolusikan masalah.  

Rangkaian penguraian masalah dengan pertanyaan dialektik menjadi the matter dan the form,  berlangsung secara analitis,  bukan linier. Keanalitisannya  dipengaruhi hakikat desain – hasil upaya Homo faber mempertahankan hidup – yang maksimal fungsinya bersifat optimal, tidak sempurna. Mendesain diproses oleh kesadaran,  hasil  evolusi insting dan kecerdasan manusia menjadi intelektualitas, yang (tentu saja) dibatasi oleh konteks tempat dan waktu.  Menurut Bergson, tindakan Homo faber memproses kreativitasnya, pada dasarnya adalah reaksi temporer atas suatu kondisi, yang efektif atau optimal bila masalah  dijadikan peluang terciptanya sistem fungsional “ … ‘if the conditions are such, such will be the conditioned.’ ” (“Creative Evolution”, 1911, hal. 165,  Random House, New York, 1944).




Apakah korelasi antara Homo faber dengan Homo ludens?
Eksistensi manusia ditentukan kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan sekitar; Homo faber; bersaing dengan cara mengolah segala potensi – insting dan kecerdasan – yang  melekat dalam diri; upaya  survival of the fittest. Kompetisi ini salah satunya disikapi manusia, dengan cara yang  lebih menyenangkan, “bermain”. Menurut Johan Huizinga (Homo Ludens, 1938), kerumitan ruang lingkup manusia disiasati dengan cara “bermain” yang hakikatnya: memiliki pola  pengatur, keberlangsungannya bersifat sementara, dan walaupun tidak menghasilkan keuntungan materi,  dinikmati karena manusia merasakan kemerdekaan, yang tidak terdapat pada kehidupan nyata.

HAKIKAT HOMO LUDENS, adalah sikap manusia MENYIMULASI KEHIDUPAN nyata KE BENTUK YANG LEBIH SEDERHANA. 
manfaat “bermain” MEMUDAHKAN proses MEMAHAMI DIRI DAN LINGKUNGAN SEKITAR - FAKTOR YANG MEMBUAT manusia MAMPU BERADAPTASI DAN BERTAHAN.

Aktivitas “bermain”  membutuhkan siasat - dalam berbagai definisi - untuk menang, hasil kreativitas pelaku menyikapi tantangan aturan permainan, sekaligus kemampuan mengukur kekuatan maupun kelemahan lawannya. Upaya ini mirip  cara manusia  bertahan pada kehidupan nyata. Menurut Henri Bergson (1911), eksistensi dimulai manusia dengan mengevolusikan potensi yang melekat pada dirinya -  insting. Namun insting membutuhkan kecerdasan, untuk mengorelasi makna dari berbagai hal yang dicerna insting. Dua kecenderungan manusia ini dilatih melalui serangkaian proses uji-coba; trial and error. Proses pembelajaran intelektual yang merumuskan kesadaran manusia. 

THE  MORE  CONSCIOUSSNESS IS  INTELLECTUALISED, THE MORE IS MATTER SPATIALISED.”
(HENRI BERGSON, “CREATIVE EVOLUTION”, 1911, HAL. 207, RANDOM HOUSE, NEW YORK, 1944).


Proses trial and error ‘uji  coba’, didetail manusia dengan menyimulasi pola kehidupan ke dalam bentuk lebih sederhana dan bersifat menyenangkan, “bermain”,  untuk mempermudah proses pemaknaan diri terhadap lingkungannya.  Dan pada hakikatnya, “bermain” adalah salah satu bentuk proses dialektik, suatu cara manusia mengubah potensinya - kecenderungan instingtif serta kecerdasan dasar - menjadi kesadaran diri yang bersifat intelektual. Proses dialektik ini berlangsung sepanjang hidup manusia, yang telah menghasilkan berbagai bentuk detail peradaban: bahasa, filosofi, konvensi, hukum, adat istiadat, seni, budaya,  dan  teknologi.  




Apakah korelasi Homo ludens dalam mengonsep desain?
Huizinga menyebutkan, “bermain” membuat manusia  sepenuhnya merasakan kebebasan yang tidak didapatkannya dari kehidupan sehari-hari. Tetapi karena permainan hanya dapat berlangsung bila ada peraturan,  justru kegiatan  ini sekaligus menjadi proses adjusting ‘latihan manusia menyesuaikan kebebasannya’,  dengan segala sesuatu di luar dirinya: manusia lain,  fenomena sosial, dan alam lingkungan. Dengan kata lain, realita dalam segala bentuk dan pemahamannya, disimulasi manusia saat bermain.

Aktivitas “bermain”   dijadikan kebutuhan karena  memungkinkan manusia - dalam waktu sesaat - dapat melakukan apa saja dan menjadi siapa pun juga; proses trial and error ‘uji coba’  penyimulasi  suatu realita. Keberlangsungan sesaatnya  bersifat tidak nyata, membantu manusia memahami implikasi kebenaran dan konsekuensi kesalahan. Artinya terjadi tahapan pembelajaran mengenali keunikan diri sendiri, mendorong manusia dengan sadar mendefinisikan kebebasannya. Sadar bahwa dalam konteks sosial, kebebasan adalah terjadinya hak setelah kewajiban dilaksanakan. Kesadaran inilah menjadi dasar keberlangsungan hidup manusia.

Ketika anak-anak, manusia “bermain” dalam konsep  make believe activity  ‘kegiatan seolah-olah’, dengan pola perilaku ‘aku menjadi’ atau ‘kalau aku melakukan, maka terjadi’. Pola awal anak mencerna informasi sekelilingnya dan bersifat pasif; proses pengamatan yang bebas dari segala bentuk asosiasi maupun persepsi. Kebelumtahuan yang mendorong anak meniru persis segala hal yang dilihatnya, ataupun yang menarik minatnya. Peniruan atau mimikri dalam permainan, dilakukan insting berdasarkan kecerdasan seorang anak. Proses ini cara awal anak memahami konteks jawaban atas pertanyaannya terhadap segala sesuatu di luar dirinya. Hasilnya, anak mendapatkan pengalaman sekaligus belajar menanggapi dan menganalisa suatu kondisi. Proses pembentuk referensi – faktor penting yang memperkaya cara anak mengembangkan kreativitasnya. Ini berarti semakin aktif anak “bermain”,  maka semakin luas pula referensinya. Keberagaman referensi inilah yang memperkaya   pengetahuan anak mengenali diri dan sekitarnya. Mengenali membuat anak belajar mendefinisikan kesadarannya;  modal dasar menuju tahap pendewasaan lebih lanjut.

Pada saat "bermain", hakikat dan kreativitas orang dewasa sama dengan anak, hanya detail pelaksanaannya berbeda. Aktivitas "bermain" dilakukan berdasarkan pilihan atas suatu referensi - persepsi dan asosiasi - seseorang. Oleh karena itu, pada orang dewasa "bermain" bersifat aktif. Motivasinya didorong kesadaran yang dipengaruhi intelektualitas, membuat permainan memiliki metode tertentu untuk memperjelas tujuan. Orang dewasa "bermain" bertujuan mengubah kebelumtahuan menjadi pemahaman akan sesuatu hal spesifik; salah satu bentuk proses dialektik untuk memerinci eksistensi diri dalam menyikapi segala bentuk tantangan kehidupan.

Penelitian untuk memahami eksistensi manusia melalui teori di atas, kami detail dengan  pertanyaan: bagaimana  sebenarnya estetika hasil kreativitas manusia divisualisasikan dan dimaknai?   Pertanyaan yang  juga  dipicu  oleh  pernyataan Picasso  ("seorang  seniman  harus selalu  berpikir seperti seorang anak kecil"), atau oleh psikoanalis Hanna Segal ("manusia kreatif adalah manusia anak-anak"), serta “keobsesivan” analisa Sigmund Freud terhadap perilaku masa kecil manusia. Pada tahap awal penelitian kami dapat disimpulkan, desain pembentuk estetika adalah hasil siasat manusia yang “bermain” dengan kreativitasnya. Estetika dibutuhkan manusia untuk membuat ruang kehidupannya sehari-hari memiliki sistem. 

Mengonsep adalah bentuk “bermain” yang metodenya bersifat dialektik.  Dalam proses ini, kreativitas digunakan untuk menyimulasikan masalah dengan pertanyaan-pertanyaan yang prinsipnya “kalau begini, maka akan terjadi”. Terjadi trial and error ‘proses mengujicobakan’  ide-ide,  yang dilakukan sampai saat diputuskan ide terbaik.  Peraturan “bermain”  bentuknya seperti grammar ‘rangkaian aturan’ yang terdiri dari konteks-konteks yang mempengaruhi timbulnya suatu masalah. Hakikatnya selalu saling bertentangan, yang oleh kreativitas disiasati dengan merubah pertentangan tersebut menjadi desain yang solutif.  


desain selaiknya bahasa, adalah salah satu bentuk “alat pembuat” atau “aturan” kehidupan.

ini berarti, prinsip MENDESAIN ADALAH PROSES MENCARI cara menyusun struktur tatanan bahasa “garis-garis” desain, yang dapat mengongkretkan rasa dan fungsi yang hakikatnya sangat abstrak.

tujuannya mengoptimalkan kreativitas manusia supaya tetap mampu menyikapi dengan teknis, kelindan masalah sosial akibat semakin sempitnya ruang urban.





Berangkat dari hal di atas, kami menyadari pentingnya upaya memperkaya kreativitas dalam berbagai konteks.  Kesadaran ini membuat kami mengamati fenomena sosial di urban negara kita, yang ternyata tidak memiliki fasilitas “gratis”untuk anak bermain. Terbukti dari hari ke hari, terlihat semakin banyak  anak-anak - terutama dari golongan ekonomi bawah - keluyuran bermain di  jalanan.  Masalah ini semakin diperumit fakta masyarakat kita yang umumnya belum menyadari pentingnya bermain bagi pertumbuhan anak. Maka tidak heran, bila  kita terfokus hanya pada masalah makro urban seperti: macetnya jalanan, genangan banjir, amburadul-nya sistem penanganan sampah kota, dan sebagainya. Akibatnya kita lupa memikirkan solusi atas ketiadaan tempat bermain anak. Padahal masalah yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin ini, dapat disolusikan  dengan desain yang relatif sederhana.  

Keprihatinan akan masalah di atas, membuat kami berinisiatif mendesain fasilitas permainan edukatif, terutama untuk anak-anak  golongan ekonomi bawah, yang tinggal di permukiman padat. Permainan ini mendidik anak tentang dua hal dasar anak mengenali lingkungannya: sense of riding ‘mengembangkan potensi motorik dan sensorik anak’, dan sense of security ‘konsep kepemilikan ruang dalam konteks sosial’. Tantangan utamanya antara lain membuat permainan sesuai konteks budaya kita, dengan material berharga ekonomis yang sistem pembuatannya juga harus sederhana, dan cocok untuk iklim tropis Indonesia.



1anything goes ‘kebebasan’: dirumuskan kritikus seni Amerika, Arthur Coleman Danto (1998). Menurutnya, karya seni kontemporer sejak abad 20 tidak lagi memiliki kejelasan parameter: atas hakikat maujudnya, tata cara pengaryaan, maupun nilai-  nilai dasar yang hendak diusung. Dengan kata lain, kerelativan seni menjadi semakin niskala.

2: persepsi: segala hal berkaitan dengan informasi yang ditangkap dan dicerna pancaindera
3: asosiasi: segala informasi yang pemaknaannya telah dipengaruhi memori personal atau dipertautkan dengan hal tertentu
4: referensi: segala hal berkaitan dengan pengetahuan tertulis pada buku, atau hal yang telah diterima sebagai suatu konvensi pada konteks tertentu
5: dengan lebih detail, akan dibahas pada buku yang diterbitkan SAGI-Architect, 2011


Bandung, 11  April 2011
Sarah Ginting
email: sarahginting@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar